Senin, 26 April 2010

Wanita Indonesia: Untuk Maju Tidak Harus "Lepas Baju" (Refleksi Hari Kartini 2010)

Erving Goffman, dalam karya Sosiologi-nya , The Presentation of Self in Everyday Life (1959), mengemukakan pemaknaan terhadap diri di era yang mementingkan penampilan (tampang) dan citra (image). Bangunan pemikirannya disebut dengan impression management (cara mempengaruhi dengan membangun kesan), yang mendasari sebuah paradigma bahwa secara sadar ataupun tidak seseorang bertindak sedemikian rupa sehingga dapat mengontrol penilaian orang lain terhadapnya. Dengan kata lain, apapun yang dikerjakan, sadar atau tidak, pada hakikatnya telah memenej keasadaran orang lain untuk “terkesan” kepada dirinya, baik sikap, cara berpakaian, cara berbicara, cara melihat, dan sebagainya.
Perilaku yang impressive itu pada gilirannya menjelma menjadi “citra atau image” yang mengontrol kesadaran, dan akan terartikulasi menjadi karakter “meniru” sikap yang mengesankan tersebut. Kesan-kesan dari sikap yang impressive itulah yang menggiring kesadaran pada karakter beo yang mengiyakan impression tanpa reserve –dalam bahasa Jean Baudrillard disebut silent majority. Karakter inilah yang meluruhkan sendi-sendi identitas dan mengantarkan diri pada meaningless. Itulah dahsyatnya impression management. Bagi orang lain yang “terkesan” akan mengikuti seluruh citra yang dibangun oleh impression manager, tanpa berusaha kriktis sama sekali.
Terkait dengan hal di atas, ketika sejenak kita cermati berbagai tayangan infotainment, sinetron, dan sederetan iklan di media massa, akan ditemukan sesuatu yang memaksa kita untuk mengernyitkan kening. Betapa tidak, suguhan-demi suguhan yang menampilkan berbagai citra tentang sesuatu dikemas dengan memenejemen kesadaran dalam impression (membangun kesan) pada diri seorang wanita. Sosok wanita tampil dalam kehadirannya sebagai “tubuh, tampang, dan pesona”. Lihat saja misalnya, salah satu iklan shampo, dengan jargon “jangan jadi followers, jadilah trendsetter” telah membangun kesan bahwa wanita akan menjadi mengemuka dengan hanya memakai shampoo itu. Identitas apa yang sedang diperjuangkan? Tentu saja warna rambut, tubuh indah, pakaian seksi, dan kulit putih-halus yang melebihi lain-lainnya. Adakah makna lain dari sosok trendsetter selain “tampang”? Hal serupa juga dapat dijumpai dalam berbagai tayangan infotainment seperti KISS, SILET, INSERT, GO SHOW, WAS-WAS, KABAR KABARI, C & R, dan sebagainya. Dalam banyak hal acara itu hanya sebatas membangun impression management dari para selebriti Indonesia yang kering makna, dan parahnya selalu mengedepankan sosok wanita. Agnes Monica potong rambut saja, misalnya, beritanya diurai sedemikian rupa, demikian juga ketika Dewi Hughes dan Trie Utami berganti penampilan. Apakah makna yang dibangun? Jawabnya jelas, “tampang”. Pemilihan Miss Indonesia, tidak luput dari impression managenet tersebut. Apalagi yang diperjuangkan selain “tampang”?
Sekilas berbagai suguhan media tidak berdampak apapun dalam kehidupan wanita Indonesia, semuanya berjalan wajar, bahkan dinilai sebagai kemajuan. Namun ketika kembali pada arahan Goffman di atas, ternyata impression management dari berbagai tampilan wanita Indonesia telah menorehkan “garis” baru bagi wanita Indonesia. Mereka, sadar atau tidak, digiring menjauh dari “diri” mereka. Dikesankan sedemikian rupa bahwa “diri”-nya hanya akan menjadi wanita Indonesia ketika mengikuti perilaku impressive dari icon-icon “kemajuan” itu. Pada saat yang sama mereka juga “dibimbing” untuk menaggalkan dan meninggalkan identitas sebagai wanita Indonesia yang hakiki. Dus, impression management pada hakikatnya telah mengambil peran dalam mengaburkan identitas wanita Indonesia yang santun dalam bahasa, sopan dalam perilaku, berbudi dalam berfikir, dan aji (bernilai) dalam berpakaian. Semuanya dinilai dari “tampang”. Miss Indonesia dan miss-miss lainnya, misalnya, bukan dari isi kepala, isi jiwa, dan isi hati yang dinilai, melainkan bentuk betis, bentuk tubuh, halusnya kulit, indahnya rambut, dan seksinya penampilan.
Dengan impression management itu kemajuan dinilai dari tampang, bukan dari makna dan nilai. Untuk menjadi maju mesti mengikuti everyday life-nya para impressionist (penjual tampang). Padahal yang terpenting adalah bagaimana penampilan “diri” (self) menjadi hakiki dengan menggenggam identitas. Goffman memang tepat mengisahkan everyday life dalam kegusaran menemukan self. Sekali lagi, ketika kembali pada sinyalemen Goffman, menjadi diri sendiri dan memperjuangkan jati diri akan membawa pada kemajuan daripada mem-beo tanpa tahu arah yang dituju, selain tampang yang mengatasnamakan kemajuan.
Jati diri sebagai wanita Indonesia adalah mengikuti “nurani” sebagai wanita mulia dengan mengusung kearifan lokal Indonesia yang telah dibangun oleh para winasis (cerdik-cendekia). Menjadi wanita Indonesia selain berani berkata “tidak” pada citra yang merusak identitas, juga berani mengedepankan jati diri sebagai wanita mulia yang berbudi pekerti yang tinggi, berprestasi tidak sekedar tampang. Kalau punya kemampuan olah raga, junjung prestasi olah raga, demikian pula seni, ketrampilan, dan prestasi-prestasi lain yang lebih mengusung makna, jungjung prestasinya, bukan “tampang”-nya. Indonesia pernah harum oleh Susi Susanti, Christine Hakim, Elya Kadam, calon astronot RI Pratiwi Sudarmono, dan sebaginya. Ternyata mereka bisa sangat menjulang tanpa mengedepankan tampang, mereka menjunjung tinggi identitas Indonesia yang mulia, baik dari segi sikap, perilaku, cara berbicara, cara berpakaian, cara hidup, dan lain sebagainya. Mereka melanglang buana, tetapi tetap tampil sebagai “wanita Indonesia”. Ternyata untuk maju, wanita Indonesia tidak harus melepas baju sebagai identitas.