Minggu, 07 Agustus 2011

Kemajuan China & Posisi Indonesia


Kemajuan China Abad XXI dan Posisi Indonesia
Ustadi Hamsah

John Naisbitt dalam Megatrends 2000 mengatakan bahwa dalam dasawarsa ke depan akan terjadi pergeseran kekuatan politik dan ekonomi dunia. Pergeseran itu mengarah ke Pacific Rim (Tepi Pasifik). Apa yang diungkapkan oleh John Naisbitt tersebut menjadi kenyataan ketika pada awal millenium kedua negara-negara di kawasan tepi pasifik Asia telah menunjukkan geliat pertumbuhan ekonomi yang luar biasa. Negara-negara seperti Jepang, China, Korea Selatan, dan Singapura, misalnya telah mencapai prestasi ekonomi yang mencengangkan (Warta Ekonomi, 1991). Dari keempat negara tersebut, China-lah yang banyak menjadi “perbincangan” para pengamat politik dan ekonomi dunia dengan tingkat produk domestik bruto (GDP) pada triwulan kedua tahun 2010 mencapai US$ 1,337 triliun melampaui Jepang yang hanya US$ 1,288 triliun (Solopos.com, 16/8/2010). Dengan pertumbuhan ekonomi di atas 10%, China secara leluasa melaju dengan berkompetisi melawan negara-negara maju lainnya, seperti Jepang dan Amerika, bahkan dalam beberapa tahun ke depan China akan menjadi nomor satu di Asia bahkan di dunia (Kompas.com, 11/1/2010).

Dengan melihat pola pergeseran tersebut, kita tentu bertanya mengapa China mampu melakukan itu dalam waktu 30an tahun sejak Reformasi China tahun 1978? Dari perspektif ekonomi-politik, sejak naiknya Hu Jintao menggantikan Jiang Zemin pada tahun 1978, dikeluarkan kebijakan xiaokang, yakni konsep pembangunan yang didasarkan pada pertumbuhan ekonomi. Dengan model ini, China telah mencetak pertumbuhan yang sangat kompetitif. Adapun dari perspektif budaya, perkembangan ekonomi-politik China dibangun di atas struktur budaya yang dilandasi Confucian Ethics. Secara ringkas, etika Konghucu menekankan pada keselarasan dan kemandirian yang difikuskan pada fungsi ke(ke)luarga(an) (Weiming, 1996).

Implikasi dari sistem budaya ini mewujud dalam perilaku sosial dan ekonomi China yang mengacu pada tradisi “rumpun bambu”, di mana seluruh “anggota keluarga” merupakan penopang dan sumber kekuatan sebuah komunitas, baik politik maupun ekonomi. Filosofi rumpun bambu menjadikan rakyat China menjadi satu komunitas besar dalam membangun bersama. Bambu merupakan serumpun tanaman yang bersambung satu sama lain, dan yang besar selalu meninggalkan tunas-tunas yang banyak sebelum dia tua dan mati. Pengejawantahan filosofi rumpun bambu dalam dunia bisnis dan perdagangan menjadi dasar suskes China. Di manapun etnis China berada menjadi sebuah “rumpun” yang besar, dan mereka tetap menjunjung tinggi nilai etis ini, sehingga meskipun secara geopolitik berbeda, etika Konghucu mutual reciprocity (saling menolong dalam kekeluargaan China) menjadi pegangan utama (Janet Landa, 1999). Pandangan filosofis ini tumbuh subur dalam sistem pemerintahan komunis China, sehingga konsep xiaokang mengakar kuat dalam sistem dan struktur budaya China.

Confucianisme merupakan agama yang telah menjadi way of live bagi masyarakat China. Agama ini sarat nilai moralitas dan filosofi yang tinggi seperti mutual reciprocity, less-adversarial (tidak punya musuh), less-individualistic (tidak individualistis), fellow-villagers (kekeluargaan), keselarasan dan kemandirian sehingga menjadi fondasi dasar masyarakat China.

Secara teoritis, agama di abad ke-21 ini telah memainkan peran sentral. Agama menjadi daya dorong yang kuat dalam memajukan sistem berfikir dan perilaku manusia. Kalau merujuk pada teori Sosiologi Agama, Berger, misalnya telah menunjukkan bagaimana agama mempunyai andil yang fundamental dalam membentuk tindakan manusia (Berger, 1994). Kalau dikaitkan dengan persoalan Confucianism dan tradisi maju China, maka apa yang diungkapkan oleh Berger termanifestasi dalam seluruh tradisi China. Dengan demikian, etos kemajuan China, khususnya dalam bidang ekonomi-politik juga banyak diwarnai oleh Confucian Ethics. Maka tidak mengerankan jika etos ini telah menyebar di dalam masyarakat China yang berada di seluruh dunia yang menjadi “komunitas” besar di Tepi Pasifik yang disebut oleh Weiming dengan “Cultural China” (Weiming, 1995).

Meskipun kemajuan China dengan dasar Confucian Ethics tersebut bisa mengantarkan pada jajaran negara yang akan “mengendalikan” sejarah dunia, namun tetap memiliki kerapuhan. Gordon Chang dalam The Coming Collapse of China (2001), menyebutkan bahwa salah satu yang menjadi titik rapuhnya adalah faktor ideologi, di samping persoalan kesenjangan kaya-miskin, perburuhan, dan lain sebagainya. Ideologi komunisme yang dianut oleh China, meskipun bersinergi dengan komunalitas dan kekeluargaan dari Confucian Ethics, menjadikan negeri ini terjebak pada pertimbangan materialistik. Kita memahami bahwa seluruh imperium di dunia runtuh karena terjebak pada pertimbangan materialistik, misalnya Romawi (Gibbon, 1776).

Oleh karena itu, dengan melihat fenomena China tersebut, kita bangsa Indonesia yang juga berada di Tepi Pasifik juga mempunyai peluang untuk menjadi negara dengan kemajuan yang pesat. Terlebih lagi The Economist memasukkan Indonesia dalam kelompok negara CIVETS (Colombia, Indonesia, Vietnam, Egypt, Turkey, South Africa) sebagai negara yang akan mencetak kemajuan yang pesat, dan bukan suatu yang mustahil jika suatu saat Indonesia akan menjadi “pengendali” sejarah dunia.